I Love Him

Selasa, 21 April 2015

Makalah Al-Qard

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-Qardh
Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata: qaradha yang sinonimnya: qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh).
Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikan oleh Hanafiah sebagai berikut.
Qardh adalah harta yang diberikan kepada orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah sesuatu perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.
Sayid Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut.
Al-qardh adalah harta yang diberikan oleh pemberi utang (muqridh) kepada penerima utang (muqtaridh) untuk kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia telah mampu membayarnya.
Hanabilah sebagaimana dikutip oleh Ali Fikri memberikan definisi qardh sebagai berikut.
Qardh adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantinya.
Dari definisi-definisi diatas dapat diambil intisari bahwa qardh adalah suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama[1] berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara dua pihak dalam jangka waktu tertentu.[2]
B.     Landasan Syariah
Qardh merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul. Dalam Alquran, qardh disebutkan dalam beberapa ayat, antara lain:
1)      Surah Al-Hadid (57) ayat 11:
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan ia akan memperoleh pahala yang banyak.
2)      Surah At-Taghabun (64) ayat 17:
Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.
Akad al qardh juga diperbolehkan secara syar’I dengan landasan hadits atau ijma ulama:
1)      Hadits Ibnu Mas’ud
Dari Ibnu Mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi bersabda: Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman kepada muslim yang lain dua kali kecuali seperti sedekah satu kali. (HR. Ibnu Majah)[3]
2)      Hadits Anas bin Malik
Pada malam aku di-isra’-kan, aku melihat pada sebuah pintu surga tertulis ‘sedekah akan dibalas 10 kali lipat dan hutang dibalas 18 kali lipat’. Lalu aku bertanya, “Wahai Jibril, mengapa menghutangi lebih utama dari sedekah?” Ia menjawab, “karena meskipun pengemis meminta-minta, namun ia masih mempunyai harta, sedangkan orang yang berhutang pasti karena ia sangat membutuhkan.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)[4]
3)      Hadits Abu Hurairah
Barang siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat, dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah menutupi (aib)nya didunia dan diakhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya”. (HR. Muslim, Abu Dawud, Turmudzi) [5]
C.     Hukum Al-Qardh
Akad al-qardh akan sah jika dilakukan orang memiliki kompetensi (ahliyah dan wilayah), karena akad ini identik dengan akad jual beli. Selain itu, harus dilakukan dengan adanya ijab qobul, karena mengandung pemindahan kepemilikan kepada orang lain.
1.      Menurut syafi’iyah dan Hanabilah, dalam akad al qardh tidak boleh ada khiyar majlis ataupun khiyar syarat. Maksud dari khiyar adalah hak untuk meneruskan atau membatalkan akad, sedangkan al qardh merupakan akad ghair lazim, masing-masing pihak memiliki hak untuk membatalkan akad. Jadi, hak khiyar menjadi tidak berarti.
2.      Menurut Hanafiyah, setiap pinjaman yang memberikan nilai manfaat bagi muqridh, maka hukumnya haram sepanjang dipersyaratkan dalam akad, jika tidak disyaratkan maka diperbolehkan.
Akad al-qardh diperbolehkan dengan syarat:
a.       Pinjaman itu tidak memberikan nilai manfaat (bonus atau hadiah yang dipersyaratkan) bagi muqridh, karena ada larangan dalam hadist Nabi.
b.      Akad al-qardh tidak di gabungkan dengan akad lain, seperti akad jual beli.[6]
3.      Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, qarad menjadi tetap setelah pemegangan atau penyerahan. Dengan demikian, jika seorang menukarkan (iqtaradha) satu koli gram gandum misalnya, ia harus menjaga gandum tersebut dan harus memberikan benda sejenis (gandum) kepada muqrid jika meminta zatnya. Jika muqrid tidak memintanya, muqtarid tetap menjaga benda sejenisnya, walaupun qarad (barang yang ditukarkan) masih ada. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf, muqtarid tidak memiliki qarad selama qarad masih ada.
4.      Ulama Malikiyah berpendapat bahwa ketetapan qarad, sebagaimana terjadi pada akad-akad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun belum ada penyerahan dan pemegangan. Muqtarid dibolehkan mengembangkan barang sejenis dengan qarad, jika qarad muqrid meminta zatnya, baik yang serupa maupun asli. Akan tetapi, jika qarad telah berubah, muqtarid wajib memberikan benda-benda sejenis.
5.      Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian qarad pada harta yang ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya. Adapun pada benda-benda lainnya, yang tidak dihitung dan ditakar, dikalangan mereka ada dua pendapat, pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu membayar nilainya pada hari akad qarad. Kedua, mengembalikan benda sejenis yang mendekati qarad pada sifatnya.[7]
D.    RUKUN DAN SYARAT Al-QARDH
Seperti halnya jual beli, rukun qardh yang diperselisihkan oleh para fuqaha, Menurut Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul, sedangakan menurut jumhur fuqaha adalah:
-          Aqid yaitu muqridh dan muqtaridh
-          Ma’qud yaitu uang atau barang
-          Shighat yaitu ijab dan qobul

1.      Aqid
Untuk aqid baik muqridh maupun muqtaridh disyaratkan harus orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’. Oleh karena itu, qardh tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih dibawah umur atau orang gila. Syafi’iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain :
a.       Ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’
b.      Mukhtar (memiliki pilihan)
Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh, berakal.
2.      Ma’qud ‘Alaih
Menurut jumhur yang terdiri atas Malikiya, Syafi’iyah dan Hanabilah, yang menjadi objek akad dalam al-qardh sama dengan objek akad salam, baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan ditimbang (mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya dipasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung. Atau dengan perkataan lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek jual beli, boleh juga dijadikan objek aqad qardh.
Hanafiah mengemukakan bahwa maqud ‘alaih hukumnya sah dalam mal mitsli, seperti barang-barang yang ditakar (makilat), barang-barang yang ditimbang (mauzunat), barang-barang yang dihitung (ma’dudat) seperti telur, barang-barang yang bisa diukur dengan meteran (madzru’at). Sedangkan barang-barang yang tidak ada atau sulit mencari persamaannya dipasaran (qimiyat) tidak boleh dijadikan objek qardh, seperti hewan, karena sulit mengembalikan dengan barang yang sama.
3.      Shighat (Ijab dan Qabul)
Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta , oleh karna itu akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama seperti akad jual beli dan hibah.
Shigat ijab bisa dengan menggunakan lafal qardh (utang atau pinjam) dan salaf (utang), atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan.[8]













BAB III
KESIMPULAN

1.      Qardh adalah suatu akad antara dua pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara dua pihak dalam jangka waktu tertentu. Seperti halnya jual beli, rukun qardh yang diperselisihkan oleh para fuqaha, Menurut Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul, sedangakan menurut jumhur fuqaha adalah:
-          Aqid yaitu muqridh dan muqtaridh
-          Ma’qud yaitu uang atau barang
-          Shighat yaitu ijab dan qobul
2.      Hadits Ibnu Mas’ud
“Dari Ibnu Mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi bersabda: Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman kepada muslim yang lain dua kali kecuali seperti sedekah satu kali.”
3.      Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pengembalian qarad pada harta yang ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya. Adapun pada benda-benda lainnya, yang tidak dihitung dan ditakar, dikalangan mereka ada dua pendapat, pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu membayar nilainya pada hari akad qarad. Kedua, mengembalikan benda sejenis yang mendekati qarad pada sifatnya.





[1] Ahmad Wardi Muslich, FIQH MUAMALAT, (Jakarta : AMZAH, 2010)., hal. 273-274
[2] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar FIQH MUAMALAH, (Yogyakarta : PUSTAKA PELAJAR, 2010)., hal. 254
[3] Ahmad Wardi Muslich, FIQH MUAMALAT…, hal. 274-276
[4] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar FIQH MUAMALAH…, hal. 255                                             
[5] Rahmat Syafe’I, FIQIH MUAMALAH, (Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2001)., hal. 152-153
[6] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar FIQH MUAMALAH…, hal. 255-257
[7] Rahmat Syafe’I, FIQIH MUAMALAH, (Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 2001)., hal. 155-156
[8] Ahmad Wardi Muslich, FIQH MUAMALAT…, hal. 278-279

Tidak ada komentar:

Posting Komentar