BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qardh
Qardh
dalam arti bahasa berasal dari kata: qaradha
yang sinonimnya: qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena
orang yang memberikan utang memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada
orang yang menerima utang (muqtaridh).
Dalam
pengertian istilah, qardh
didefinisikan oleh Hanafiah sebagai berikut.
Qardh adalah harta yang diberikan kepada
orang lain dari mal mitsli untuk kemudian dibayar atau dikembalikan. Atau
dengan ungkapan yang lain, qardh adalah sesuatu perjanjian yang khusus untuk
menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain untuk kemudian dikembalikan
persis seperti yang diterimanya.
Sayid
Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut.
Al-qardh adalah harta yang
diberikan oleh pemberi utang (muqridh) kepada penerima utang (muqtaridh) untuk
kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia
telah mampu membayarnya.
Hanabilah
sebagaimana dikutip oleh Ali Fikri memberikan definisi qardh sebagai berikut.
Qardh
adalah memberikan harta kepada orang yang memanfaatkannya dan kemudian
mengembalikan penggantinya.
Dari
definisi-definisi diatas dapat diambil intisari bahwa qardh adalah suatu akad
antara dua pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak
kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus
dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara dua pihak dalam jangka waktu
tertentu.
B.
Landasan
Syariah
Qardh
merupakan perbuatan baik yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul. Dalam
Alquran, qardh disebutkan dalam
beberapa ayat, antara lain:
1) Surah
Al-Hadid (57) ayat 11:
Siapakah yang mau meminjamkan
kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (balasan)
pinjaman itu untuknya, dan ia akan memperoleh pahala yang banyak.
2) Surah
At-Taghabun (64) ayat 17:
Jika kamu meminjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasannya kepadamu dan
mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.
Akad
al qardh juga diperbolehkan secara
syar’I dengan landasan hadits atau ijma ulama:
1) Hadits
Ibnu Mas’ud
Dari
Ibnu Mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi bersabda: Tidak ada seorang muslim yang
memberi pinjaman kepada muslim yang lain dua kali kecuali seperti sedekah satu
kali. (HR. Ibnu Majah)
2) Hadits
Anas bin Malik
Pada
malam aku di-isra’-kan, aku melihat pada sebuah pintu surga tertulis ‘sedekah
akan dibalas 10 kali lipat dan hutang dibalas 18 kali lipat’. Lalu aku
bertanya, “Wahai Jibril, mengapa menghutangi lebih utama dari sedekah?” Ia
menjawab, “karena meskipun pengemis meminta-minta, namun ia masih mempunyai harta,
sedangkan orang yang berhutang pasti karena ia sangat membutuhkan.” (HR.
Ibnu Majah dan Baihaqi)
3) Hadits
Abu Hurairah
Barang
siapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan
dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat.
Barang siapa memberi kelonggaran kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah
akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat, dan barang siapa
menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah menutupi (aib)nya didunia dan diakhirat.
Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya mau menolong
saudaranya”. (HR. Muslim, Abu Dawud, Turmudzi)
C. Hukum Al-Qardh
Akad al-qardh akan
sah jika dilakukan orang memiliki kompetensi (ahliyah dan wilayah), karena akad
ini identik dengan akad jual beli. Selain itu, harus dilakukan dengan adanya
ijab qobul, karena mengandung pemindahan kepemilikan kepada orang lain.
1.
Menurut
syafi’iyah dan Hanabilah, dalam akad al qardh tidak boleh ada khiyar majlis ataupun khiyar syarat.
Maksud dari khiyar adalah hak untuk meneruskan atau membatalkan akad, sedangkan
al qardh merupakan akad ghair lazim, masing-masing pihak memiliki hak untuk
membatalkan akad. Jadi, hak khiyar menjadi tidak berarti.
2.
Menurut
Hanafiyah, setiap pinjaman yang memberikan nilai manfaat bagi muqridh, maka
hukumnya haram sepanjang dipersyaratkan dalam akad, jika tidak disyaratkan maka
diperbolehkan.
Akad al-qardh diperbolehkan dengan syarat:
a.
Pinjaman
itu tidak memberikan nilai manfaat (bonus atau hadiah yang dipersyaratkan) bagi
muqridh, karena ada larangan dalam hadist Nabi.
b.
Akad
al-qardh tidak di gabungkan dengan akad lain, seperti akad jual beli.
3.
Menurut
Imam Abu Hanifah dan Muhammad, qarad menjadi
tetap setelah pemegangan atau penyerahan. Dengan demikian, jika seorang
menukarkan (iqtaradha) satu koli gram
gandum misalnya, ia harus menjaga gandum tersebut dan harus memberikan benda
sejenis (gandum) kepada muqrid jika
meminta zatnya. Jika muqrid
tidak memintanya, muqtarid tetap
menjaga benda sejenisnya, walaupun qarad
(barang yang ditukarkan) masih ada. Akan tetapi, menurut Abu Yusuf, muqtarid
tidak memiliki qarad selama qarad masih ada.
4.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa ketetapan qarad,
sebagaimana terjadi pada akad-akad lainnya, adalah dengan adanya akad walaupun
belum ada penyerahan dan pemegangan. Muqtarid dibolehkan mengembangkan barang sejenis dengan qarad, jika qarad muqrid meminta zatnya, baik yang serupa maupun asli. Akan
tetapi, jika qarad telah berubah, muqtarid wajib memberikan benda-benda
sejenis.
5.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa
pengembalian qarad pada harta yang
ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya. Adapun pada benda-benda
lainnya, yang tidak dihitung dan ditakar, dikalangan mereka ada dua pendapat,
pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu membayar nilainya pada hari
akad qarad. Kedua, mengembalikan
benda sejenis yang mendekati qarad
pada sifatnya.
D. RUKUN
DAN SYARAT Al-QARDH
Seperti
halnya jual beli, rukun qardh yang diperselisihkan oleh para fuqaha, Menurut
Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul, sedangakan
menurut jumhur fuqaha adalah:
-
Aqid
yaitu muqridh dan muqtaridh
-
Ma’qud
yaitu uang atau barang
-
Shighat
yaitu ijab dan qobul
1.
Aqid
Untuk aqid baik muqridh maupun muqtaridh disyaratkan
harus orang yang dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’.
Oleh karena itu, qardh tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang masih dibawah
umur atau orang gila. Syafi’iyah memberikan persyaratan untuk muqridh, antara
lain :
a. Ahliyah
atau kecakapan untuk melakukan tabarru’
b. Mukhtar
(memiliki pilihan)
Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan
harus memiliki ahliyah atau kecakapan untuk melakukan muamalat, seperti baligh,
berakal.
2.
Ma’qud
‘Alaih
Menurut jumhur yang terdiri atas Malikiya, Syafi’iyah dan
Hanabilah, yang menjadi objek akad dalam al-qardh sama dengan objek akad salam,
baik berupa barang-barang yang ditakar (makilat) dan
ditimbang (mauzunat), maupun qimiyat (barang-barang yang tidak ada persamaannya
dipasaran), seperti hewan, barang-barang dagangan, dan barang yang dihitung.
Atau dengan perkataan lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek jual beli,
boleh juga dijadikan objek aqad qardh.
Hanafiah
mengemukakan bahwa maqud ‘alaih hukumnya sah dalam mal mitsli, seperti
barang-barang yang ditakar (makilat), barang-barang yang ditimbang (mauzunat),
barang-barang yang dihitung (ma’dudat) seperti telur, barang-barang yang bisa
diukur dengan meteran (madzru’at). Sedangkan barang-barang yang tidak ada atau
sulit mencari persamaannya dipasaran (qimiyat) tidak boleh dijadikan objek
qardh, seperti hewan, karena sulit mengembalikan dengan barang yang sama.
3.
Shighat
(Ijab dan Qabul)
Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta , oleh
karna itu akad tersebut tidak sah kecuali dengan adanya ijab dan qabul, sama
seperti akad jual beli dan hibah.
Shigat
ijab bisa dengan menggunakan lafal qardh (utang atau pinjam) dan salaf (utang),
atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Qardh adalah suatu akad antara dua
pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua
untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus
dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara dua pihak dalam jangka waktu tertentu. Seperti halnya jual beli, rukun qardh yang
diperselisihkan oleh para fuqaha, Menurut
Hanafiah, rukun qardh adalah ijab dan qabul, sedangakan
menurut jumhur fuqaha adalah:
-
Aqid
yaitu muqridh dan muqtaridh
-
Ma’qud
yaitu uang atau barang
-
Shighat
yaitu ijab dan qobul
2.
Hadits Ibnu Mas’ud
“Dari
Ibnu Mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi bersabda: Tidak ada seorang muslim yang
memberi pinjaman kepada muslim yang lain dua kali kecuali seperti sedekah satu
kali.”
3.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa
pengembalian qarad pada harta yang
ditakar atau ditimbang harus dengan benda sejenisnya. Adapun pada benda-benda
lainnya, yang tidak dihitung dan ditakar, dikalangan mereka ada dua pendapat,
pertama, sebagaimana pendapat jumhur ulama, yaitu membayar nilainya pada hari
akad qarad. Kedua, mengembalikan
benda sejenis yang mendekati qarad
pada sifatnya.